MEDAN (KINANTAN)

Di atas kertas, Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) adalah instrumen penting untuk memastikan setiap bangunan di kota ini berdiri sesuai standar keamanan, tata ruang, dan estetika kota. 


Lebih dari itu, PBG juga menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bisa menopang pembangunan Kota Medan.


Namun, di lapangan, niat baik itu justru terperangkap dalam jeratan birokrasi yang rumit, lamban, dan mahal. 


Alih-alih menjadi wujud penataan kota yang tertib, PBG kini berubah menjadi momok bagi masyarakat yang hendak mengurus izin secara resmi.


Warga mengaku harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan persetujuan PBG. 


“Prosesnya panjang, biaya konsultan mahal. Banyak yang akhirnya memilih bangun tanpa izin saja,” terang anggota DPRD Medan dari Fraksi Demokrat Ahmad Afandi Harahap kepada wartawan, Senin 20 Oktober 2025.


Ironisnya lanjut Afan biasa dipanggil, praktik ini justru menimbulkan efek domino: maraknya bangunan liar dan bocornya potensi PAD Kota Medan. Pemerintah kota memang pernah menjanjikan layanan “PBG 10 jam selesai”, tapi di lapangan, janji itu hanya terdengar indah di spanduk dan konferensi pers.


Mahal, Lamban, dan Tak Transparan


Masalah utama pengurusan PBG bukan sekadar waktu, tetapi juga biaya.


Banyak pengembang dan pemilik rumah mengeluhkan keharusan menggunakan jasa konsultan dengan tarif selangit, bahkan bisa mencapai belasan juta rupiah per unit rumah. 


Padahal, menurut pernyataan tegas Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, penggunaan jasa konsultan tidaklah wajib.


“Nggak perlu pakai konsultan, langsung saja ke Mal Pelayanan Publik,” tegas Tito saat kunjungan kerja di Kantor Gubernur Sumut, Jumat (10/10/2025).


Pernyataan itu mengguncang publik Kota Medan. Wajar jika kemudian muncul dugaan bahwa pengurusan PBG selama ini sudah “dipelihara” menjadi lahan empuk bagi pihak-pihak tertentu, mulai dari oknum dinas hingga konsultan yang “dekat” dengan petinggi.


APH harus Usut "Pungli" berkedok administrasi 


Dalam menghadapi kasus seperti ini, sudah layak Aparat Penegak Hukum (APH) menelusuri "Pungli" berkedok administrasi. Sebab, kalau kita berharap pada Inspektorat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hal tersebut, kita sangat pesimis.


“Kalau menunggu Inspektorat, untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut, ya pesimislah kita. APH harus usut dugaan pungli dan gratifikasi ini, berkedok administrasi” ujar Afan


Dalih Pemerintah yang Setengah Hati


Kepala Dinas Perkimcitaru Kota Medan, John E. Lase, memang membantah tudingan adanya kewajiban menggunakan konsultan untuk bangunan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Ia menyebut gambar prototipe bangunan sudah tersedia di aplikasi SIMBG.


Namun, pada saat yang sama, ia menegaskan bahwa bangunan umum tetap harus menggunakan jasa konsultan sesuai PP No.16 Tahun 2021.


“Untuk bangunan lainnya tetap menggunakan konsultan. Terkait biaya mahal, kami himbau masyarakat jangan pakai calo,” katanya beberapa waktu lalu.


Sayangnya, pernyataan tersebut terkesan normatif dan defensif.


Masalah utama bukan sekadar soal calo, tetapi tentang sistem pengawasan internal yang lemah, transparansi biaya yang tidak jelas, serta minimnya komitmen moral di tubuh birokrasi sendiri.


Selama dugaan pungli dan gratifikasi tidak ditelusuri dengan serius, himbauan seperti itu hanya terdengar seperti pembenaran.


PBG Harus Kembali ke Tujuan Awal


PBG sejatinya hadir untuk menata pembangunan kota, bukan mempersulitnya. Bila prosedurnya terlalu berbelit dan biayanya tidak rasional, maka warga akan mencari jalan pintas. 


Dan ketika hal itu terjadi secara masif, yang dirugikan bukan hanya masyarakat, tetapi juga pemerintah sendiri.


Kota Medan bisa kehilangan miliaran rupiah dari potensi PAD yang bocor. Lebih dari itu, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan terus menurun.


Sudah saatnya Wali Kota Medan dan aparat hukum turun langsung membenahi sistem ini. Bukan dengan menambah janji layanan cepat, tetapi dengan tindakan nyata: membuka transparansi biaya, menindak oknum, dan memangkas rantai birokrasi yang tidak perlu.


Jika tidak, maka PBG akan tetap menjadi simbol klasik dari penyakit lama: regulasi yang baik, tapi dikubur oleh birokrasi yang berbelit.


"Pemerintah boleh bangga dengan sistem digital dan slogan pelayanan cepat, tapi selama moral aparatur tidak dibenahi, aplikasi hanyalah jendela cantik yang menutupi bobrok di dalamnya."tegasnya (Lc)

Lebih baru Lebih lama